Kang Jumari

Kang Jumari

Belajar Bersama Kang Jumari

He..he...yuk kita belajar bersama tentang segalanya di jagad seisinya. Met!....bergabung ya....

Sabtu, 29 Desember 2007

SERTIFIKASI GURU; SEBUAH UPAYA MENCARI STATUS EKONOMI

Sertifikasi guru yang saat ini lagi gencar-gencarnya dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan kwalitas guru. Pada realitasnya masih banyak mengalami banyak kendala. Portofolio yang dilaksanakan jauh dari ketentuan yang berlaku. Usaha apapun akan dilakuka demi mendapatkan status sertifikasi dan suatu pengharapa yang cukup besar nantinya gaji (salary) itu pun juga mengalami kenaikan.
Pemerintah selaku pemangku kebijakan terlaksananya sertifikasi bagi guru pun juga memiliki pengharapan agar nantinya para guru sebagai tonggak keberhasilan pendidikan mampu meningkatkan kinerjanya agar lebih profesional. Tetapi kemudian munculah pesimisme baru, suatu kemungkina-kemungkina akan muncul. Kondisi seperti itu untuk saat ini didukung oleh kenyataan dilapangan bahwa kondisi ekonomi negara ini yang sedang sulit, kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok bisa saja memicu guru untuk melakukan sesuatu agar mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. sebuah pertanyaan besar yang mungkin bisa kita renungkan kembali. Akankah sertifikasi guru hanya sebagai pencari status ekonomi guru ditengah naiknya harga-harga? semoga bermanfaat

Rabu, 26 Desember 2007

MASALAH PENDIDIKAN KITA

MASALAH PENDIDIKAN KITA

Kalau benar-benar diinventarisasi, banyak masalah dan persoalan besar dan mendasar yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita dewasa ini yang memerlukan pemecahan mendasar melalui program mendasar pula. Sebut saja misalnya buta aksara yang masih banyak menyelimuti kehidupan masyarakat kita yang harus di entaskan melalui pendidikan luar sekolah. Walaupun kegiatan pemberantasan buta huruf sudah sejak lama dicanangkan dan diupayakan pemerintah bersama masyarakat, namun masih tetap saja terdapat tidak kurang dari 104.000 warga negara Indonesia yang masih buta aksara di Riau.

Pemberantasanya tentulah memerlukan perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh. Keinginan dari mereka yang masih buta aksara ini untuk belajar dan meningkatkan kemampuan perlu pula ditumbuh kembangkan melalui motivasi yang diberikan oleh semua pihak termasuk para mubaligh dan juru dakwa, agar mereka juga proaktif dalam mendatangi pusat-pusat belajar yang telah ada ataupun yang yang akan dikembangkan.

Jumlah anak usia sekolah antara umur 7 s/d 15 tahun masih banyak yang belum tertampung pada fasilitas pendidikan yang sudah ada. Pada hal wajib belajar 9 tahun itu sudah dicanangkan sejak 10 tahun yang lalu. Untuk itu mau ataupun tidak, fasilitas belajar mengajar haruslah diusahakan, baik di sekolah ataupun di luar sekolah. Pada saat ini kita harus mengakui paling tidak ada sekitar 3 s/d 5 % lagi anak-anak usia sekolah dasar yang tidak sempat menikmati pembelajaran di sekolah dasar tersebut, baik karena putus sekolah dengan berbagai alasan, maupun karena sama sekali tidak sempat mengecap pendidikan di sekolah tersebut. Mereka pada umumnye bermukim di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh sarana transportasi, telekomunikasi maupun fasilitas pendidikan. Namun karena wajib belajar 9 tahun telah diprogramkan maka mau ataupun tidak mereka harus difasilitasi di manapun mereka berada dan bagaimanapun caranya.

Pembangunan sekolah dasar baru maupun perbaikan sekolah-sekolah yang sudah ada kelihatannya sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan. Di berbagai Kabupaten dan Kota serta Kecamatan sering terdengar keluhan adanya fasilitas sekolah yang tidak lengkap dengan jumlah guru yang terbatas dan lain-lain keluhan. Mencukupi kebutuhan standar minimal bagi sekolah dasar maupun madrasyah Ibtidaiyah kelihatannya sudah sangat penting menjadi skala prioritas di mana pun sekolah dasar itu berada. Kita tidak boleh lagi membiarkan sebuah sekolah hanya di asuh oleh dua atau tidak orang guru saja termasuk kepala sekolahnya. Karena itu penambahan guru kelas kelihatannya sangat penting dan tak dapat ditunda lagi ditambah dengan guru mata pelajaran khusus seperti matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain sebagainya disamping meningkatkan mutu guru agar profesional dan memiliki kompetensi dalam mengajar.

Penyiapkan fasilitas sekolah seperti ruang belajar, ruang kantor, laboratorium bahasa dan komputer, laboratorium IPA, perpustakaan, buku pelajaran pokok dan tambahan, fasilitas seni dan olah raga, tempat bermain, musholla, taman adalah fasilitas-fasilitas yang secara bertahap perlu dibangun. Menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif dengan menejemen sekolah yang baik yang menyebabkan anak ddik dan guru betah tinggal di sekolah sebagai rumah mereka yang kedua adalah hal yang teramat penting yang perlu ditumbuh-kembangkan.

Sekolah Menengah Pertama ataupun madrasyah tsanawiyah kita kelihatannya sudah sangat mendesak untuk ditingkatkan jumlah dan daya tampungnya sehingga semua lulusan sekolah dasar bisa ditampung di sekolah menengah pertama pada tahun 2008 mendatang. Untuk mencapai hal tersebut paling tidak setiap tahun kita harus membangun 800 buah lokal atau kelas baru sampai menjelanga tahun 2008 mendatang, di setiap daerah yang memiliki anak-anak usia sekolah antara 12 s/d 15 tahun terseebut. Untuk itu kita bisa membayanglan berapa jumlah guru, fasilitas sekolah dan dana yang harus kita sediakan.

Peningkatan jumlah dan mutu Sekolah Menengah Atas dan Madrasyah Aliyah sudah sangat mendesak pula kita laksanakan. Pada hari ini paling tidak ada sekitar 80 % orang tamatan sekolah Menengah Atas yang tidak melanjutkan sekolah pada tingkatan yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa mereka harus masuk ke dunia kerja. Dengan ketrampilan yang masih terbatas, tidak otomatis semua anak yang tidak masuk ke perguruan tinggi tadi bisa ditampung di lapangan pekerjaan yang tersedia maupun menciptakan lapangan pekerjaan yang baru. Untuk itu mereka masih memerlukan pelatihan dan pendidikan khusus lagi agar mereka memperoleh kelayakan untuk memasuki dunia kerja yang tersedia.

Kita agaknya memang perlu belajar dari negara tetangga kita seperti Singapura bagaimana cara mereka menyiapkan sumberdaya manusia yang siap pakai di dunia kerja. Setelah menamatkanpendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama selama 10 tahun, mereka sengaja menggodok anak didik ini selama 2 tahun lagi dalam bentuk pelatihan (training) yang intensif sehingga dalam kurun waktu dua tahun itu akan dihasilkan anak didik yang cerdas dan trampil. Bagi mereka yang pintar bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi sedangkan yang nilainya sedang-sedang saja, harus masuk ke dunia kerja. Untuk itulah, dengan tidak merobah sistem pendidikan, kita perlu memberi ketrampilan khusus bagi anak didik kita itu di samping upaya membangun sekolah menengah kejuruan yang relefan dengan tuntutan dunia kerja. Mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi di Propinsi Riau kelihatannya juga tidak mungkin dapat diabaikan dalam rangka meningkatkan daya saing anak bangsa di percaturan peradapan dunia. Mudah-mudahan.

KURIKULUM DI INDONESIA;Pembaharuan Mengikuti Perkembangan Ataukah Kebijakan?

KURIKULUM DI INDONESIA;

Pembaharuan Mengikuti Perkembangan Ataukah Kebijakan?

Pendahuluan

Sejak isu reformasi pendidikan digulirkan, maka banyak bermunculan gagasan-gagasan pembaharuan pendidikan. Reformasi sebagai sebuah gerakan yang memiliki perspektif sejarah politik monumental, karena era reformasi menjadi era pemerintahan substitusi pemerintahan orde baru. Tentunya gagasan reformasi pendidikan ini memiliki momentum yang amat mendasar dan berbeda dengan gagasan yang sama pada era sebelumnya. Salah satu gagasan yang muncul adalah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai pengganti UU No. 2 tahun 1989.[1] Kedua undang-undang tersebut membawa perspektif baru yang amat revolusioner dalam konteks perbaikan sektor pendidikan, yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat baik dalam kebijakan kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri.

Arah reformasi dalam mewujudkan pengembangan pendidikan terkait dengan kebijakan kurikulum adalah ikut diperbaharuinya kurikulum yang ada sebelumnya dari kurikulum 1994 diperbaharui menjadi kurikulum 2004 atau KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Selang dua tahun kemudian KBK pun telah mengalami pembaharuan kembali menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) atau kurikulum 2006. Dari perubahan yang terjadi, menurut Ki Supriyoko, mengatakan bahwa ganti kurikulum sebagai problem baru pendidikan. Semisal berkaitan dengan waktu, penggantian kurikulum di Indonesia terdapat semacam konvensi bahwa penggantian kurikulum biasanya dilakukan sekitar sepuluh tahun dari masa berlakunya, kurikulum 1975 usianya sembilan tahun ketika diganti dengan kurikulum 1984. Kurikulum 1984 usianya sepuluh tahun ketika diganti dengan kurikulum 1994 dan kurikulum 1994 usianya sepuluh tahun ketika diganti dengan KBK atau kurikulum 2004. Namun, menimbulkan suatu pertanyaan, ketika KBK diganti KTSP. KBK yang seharusnya diganti sekitar tahun 2014, tetapi dalam jangka waktu dua tahun sudah berganti dengan KTSP, kenapa?[2]

Oleh karena itu, problem pendidikan di Indonesia masih cukup kompleks. Di mana hal itu membutuhkan pemecahan yang serius dan kontinyu. Sehingga outcome pendidikan tersebut berkwalitas dan mampu menghadapi berbagai tantangan zaman yang global serta tidak lepas dari nilai-nilai etika-moral yang ada. Dengan kata lain, tercipta insan seutuhnya. Dengan demikian, penulis mencoba untuk menggali problem yang terdapat dalam dunia pendidikan, khususnya kurikulum. Apalagi, kurikulum merupakan salah satu bagian penting terjadinya suatu proses pendidikan. Karena suatu pendidikan tanpa adanya kurikulum akan kelihatan amburadul dan tidak teratur. Hal ini akan menimbulkan perubahan dalam perkembangan kurikulum, khususnya di Indonesia, apakah perubahan atau pembaharuan itu didasarkan atas perkembangan atau kebijakan dari pemerintah? Maka itu perlu sumbangsih dari para calon pakar pendidikan, khususnya para mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya konsentrasi Pendidikan Islam.

Kurikulum: sebuah makna

Kurikulum yang berasal dari kata curriculum yang berarti lintasan untuk balap kereta kuda yang biasa dilakukan oleh bangsa Romawi pada zaman kaisar Gaius Julius Caesar di abad pertama tahun masehi. Namun, istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan suatu konsep yang abstrak.[3] Sehingga kemudian melahirkan banyak pengertian tentang kurikulum, diantaranya:

  1. Schubert berpendapat sederhana bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran, muatan hasil belajar, adanya unsur reproduksi kebudayaan dan pembangunan sosial, serta pentingnya kecakapan hidup.[4]
  2. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan dan ketrampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan. [5]
  3. Kurikulum sebagai sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan.
  4. Kurikulum merupakan suatu cara untu mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya.[6]

Beragam pengertian tersebut selalu akan menampilkan hal-hal yang berbeda, bahkan sering pula bertentangan. Namun, pada dasarnya sama sebagai bentuk upaya untuk memberikan atau menggali pengetahuan, pengalaman yang ada dalam diri masing-masing peserta didik agar mampu menghadapi masa depan dengan lebih gemilang dengan materi, metode, fasilitas yang telah ada.

Sementara itu, Mochtar Buchori mengatakan bahwa kurikulum sebagai blue print (cetak biru), sebagai suatu penggambaran terhadap sosok manusia yang diharapkan akan tumbuh setelah menjalani semua proses pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang digariskan dalam kurikulum.[7] Ibarat suatu proses pendirian bangunan kurikulum merupakan sketsa awal yang menggambarkan bangunan tersebut akan didirikan dalam bentuk model yang telah dibayangkan dan diinginkan oleh pemiliknya. Adapun kuatnya suatu bangunan, bagusnya suatu model yang telah digambarkan sebelumnya sangat bergantung kepada kecanggihan para tukang yang menggarap bangunan tersebut, termasuk juga mutu meteri yang digunakan untuk mendirikan bangunan itu. Para tukang ini sebagai pendidik, sedangkan materi bangunan ialah seluruh bahan yang digunakan untuk melaksanakan proses pendidikan terhadap siswa yang sedang menjalani proses pertumbuhan menjadi sosok manusia ideal yang dicita-citakan. Dengan demikian, kurikulum bukanlah satu-satunya faktor penentu yang mendukung lahirnya jati diri seseorang di masyarakat di kemudian hari. Meskipun begitu, kurikulum menjadi perangkat yang strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu masyarakat.[8]

Kurikulum di Indonesia

Melongok kondisi Indonesia jika membicarakan pendidikan apalagi persoalan kurikulum untuk saat ini sangat kompleks. Beragam kurikulum yang pernah ada di Indonesia ternyata masih belum mampu memberikan solusi yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kondisi seperti itu seiring dengan di tandai oleh rendahnya mutu kelulusan, fasilitas dan sarana yang kurang memadai, serta banyak hal lain yang melingkupi problematika pendidikan kita. Begitu kompleksnya problem pendidikan di Indonesia berujung kepada keprihatinan terhadap kualitas sumber daya manusianya. Sebagai catatan Human Development Report tahun 2003 versi UNDP menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan 112, jauh di bawah Filipina (25), Malaysia (58), Brunai Darussalam (31) dan Singapura (28).[9] Kenyataan seperti ini mengharuskan bangsa Indonesia untuk melakukan pembenahan-pembenahan, khususnya sektor pendidikan. Karena dengan pendidikan itu akan mampu melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, mandiri serta mampu menghadapi beragam tantangan zaman.

Kurikulum sebagai rancangan, disaign dengan segala bentuk materi, pelaksana, fasilitas dan sebagainya yang mampu membentuk dan mencetak generasi atau SDM yang sesuai dengan cita-cita atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini menunjukkan peran penting kurikulum demi kemajuan bangsa. Akan tetapi, konsep atau sketsa kurikulum yang ideal tanpa didukung oleh pelaksana yang handal dan segala fasilitas yang memadai tentu nonsen akan menghasilkan mutu yang bagus sesuai harapan.

Dalam kaitanya dengan kurikulum ini perlu kita ketahui bahwa berdasarkan perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia telah terdapat beberapa kurikulum yang pernah dilalui dan itu telah mengalami banyak perubahan sesuai dengan kondisi saat itu, di antaranya: tahun 1947, 1952, 1968, 1984, 1994 dan tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.[10]

a. Kurikulum 1968 dan sebelumnya

Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.

Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan dan jasmani.

Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.[11]

b. Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut:

* Berorientasi tujuan

* Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.

* Menekankan kepada efisiensi dan efektifitas dalam hal daya dan waktu.

* Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan prosedur pengembangan sistem instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.

* Dipengaruhi pseikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang jawab) dan latihan (drill).

Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratkan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itula pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.

c. Kurikulum 1984

Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya sebagai berikut:

* Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang berlum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.

* Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampan anak didik.

* Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaanya di sekolah.

* Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan di setiap jenjang.

* Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk pendidikan luar sekolah.

* Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.

Atas dasar perkembangan itu, maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak sesuai lagi. Oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Þ Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.

Þ Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotor.

Þ Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.

Þ Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.

Þ Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.

Þ Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.[12]

d. Kurikulum 1994

Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasan pendidikan di LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.

Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:

ü Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.

ü Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).

ü Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.

ü Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.

ü Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

ü Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.

ü Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.

Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut:

ü Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.

ü Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

Permasalahan di ats saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya suplemen kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu:

ü Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.

ü Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.

ü Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.

ü Penyempurnaan kurikulum mempertimbangkan brbagai aspek terkait, seperti tujuan materi pembelajaran, evaluasi dan sarana-prasarana termasuk buku pelajaran.

ü Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.

Penyempurnaan kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.[13]

e. Kurikulum 2004

Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk invovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 disempurnakan lagi sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi disentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tentang otonomi daerah.

Pada era ini kurikulum yang dikembangkan diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002). Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.[14]

Adapun karakteristik KBK menurut Depdiknas (2002) adalah sebagai berikut:

o Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupu klasikal.

o Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

o Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

o Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

o Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.[15]

Untuk itu, agar KBK mampu konsisten dan valid dalam operasionalnya, terdapat beberapa asumsi-asumsi yang mampu tercapainya hal tersebut:

s Banyak sekolah yang memiliki sedikit guru profesional dan tidak mampu melaksanakan pembelajaran secara optimal.

s Banyak sekolah yang hanya mengoleksi sejumlah mata pelajaran dan pengalaman, sehingga mengajar diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran.

s Peserta didik bukanlah tabung kosong atau kertas putih yang dapat diisi atau ditulis sekehendak guru, melainkan individu yang memiliki sejulah potensi yang berlu dikembangkan.

s Peserta didik memiliki potensi yang berbeda dan bervariasi, dalam hal tertentu memiliki potensi tinggi, tetapi dalam hal lain, mungkin biasa saja, bahkan rendah.

s Pendidikan berfungsi mengkondisikan lingkungan yang membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki secara optimal.

s Kurikulum sebagai rencana pembelajaran harus berisi kompetensi-kompetensi potensial yang tersusun secara sistematis, sebagai jabaran dari seluruh aspek kepribadian peserta didik.

s Kurikulum sebagai proses pembelajaran harus menyediakan berbagai kemungkinan kepada seluruh peserta didik untuk mengembangkan berbagai peristiwanya.[16]

f. Kurikulum 2006

Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.

Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.

Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:

  • Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
  • Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
  • Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
  • Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
  • Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. .[17]

Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan KBK tahun 2004 dengan KBK tahun 2006 (versi KTSP), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh dalam menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan silabusnya

Pembaharuan mengikuti perkembangan ataukah kebijakan?

Dari berbagai kurikulum yang dilalui oleh Indonesia ini, kiranya dapat ditelisik bahwa kurikulum tersebut mengalami pembaharuan dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan kondisi zaman yang menuntut memang suatu kurikulum harus berubah ataukah terdapat suatu presser dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan? Problem seperti ini bukan suatu hal baru bagi pendidikan kita. Pada era sebelum reformasi banyak kalangan, para pakar pendidikan mengkritik hal itu dengan istilah ganti menteri, ganti kebijakan[18]. Tetapi untuk saat ini, akankah hal tersebut terjadi pula? Jika pendapat tokoh pendidikan Ki Supriyoko sebagaimana tersebut sebelumnya, bahwa pergantian kurikulum biasanya terjadi sepuluh tahun kemudian dari kurikulum sebelumnya, namun jika kita menyoroti KBK ke KTSP atau kurikulum 2004 ke kurikulum 2006 menunjukkan kurang dari sepuluh tahun, tentu akan muncul suatu pertanyaan, mengapa?

Kalau kita mencermati secara mendalam implementasi KBK pada tingkat grassroot, yakni sekolah sebagai pelaksana dari KBK tersebut. Pada kenyataanya tidak setiap sekolah sudah mampu melaksanakan KBK ini, bahkan mungkin sekolah tersebut masih taraf trial and error terhadap KBK. Karena kurangnya dukungan dari SDM sekolah tersebut yang belum menguasai tentang KBK. Nah, apakah ini tidak secara langsung menunjukkan bahwa penentu kebijakan tersebut terlalu tergesa-gesa dalam mengadakan perubahan, tanpa harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, misal ketidaksiapan para tukang didik (pendidik/guru) yang akan terjun langsung mengoperasikan mesin pendidikan. Karena suatu konsep yang ideal tetapi belum mampu teraplikasikan dalam realita akan menghasilkan suatu kesia-siaan. Tentu menjadi renungan bagi kita.

Menurut, S. Nasution bahwa pembaharuan kurikulum mengikuti dua prosedur, yaitu Administrative approach dan grass roots approach. Administrative approach, yaitu suatu perubahan atau pembaharuan yang direncanakan oleh pihak atasan untuk kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru, jadi from the top down, dari atas ke bawah, atas inisiatif para administrator. Yang kedua, grass roots approach, yaitu yang dimulai dari akar, from the bottom up, dari bawah ke atas, yakni dari pihak guru atau sekolah secara individual dengan harapan agar meluas ke sekolah-sekolah lain.[19] Namun, pola seperti itu bergantung kepada pengelolanya, yakni pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Dan bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Kita tentu dapat obyektif dalam mencermatinya.

Penutup

Sudah bukan hal baru lagi bagi kita bangsa Indonesia dalam mengkaji dan memperdebatkan tentang problematika kurikulum di Indonesia. Karena kondisi perkembangan pendidikan di Indonesia, bahkan mungkin di belahan negara lain mengalami problem yang sama. Secara tidak langsung pendidikan tersebut mampu menyepadani dengan tuntutan kondisi zaman yang berkembang begitu cepat. Apalagi disertai dengan perkembangan arus informasi dan teknologi, tidak bisa tidak, kondisi seperti ini akan menuntut perubahan dalam pendidikan. Di mana hal itu nantinya akan berefek kepada perubahan kurikulum, sebagai main concept, sketsa, blue print kemanakah pendidikan kita, generasi kita akan dibawa?

Berkaitan dengan perubahan, pembaharuan dan perbaikan pendidikan (kurikulum) membutuhkan peran serta berbagai pihak. Akan tetapi hal itu tidak sampai mengesampingkan antara satu pihak dengan pihak lain. Agar dalam mewujudkan perubahan dan pembaharuan dapat sejalan dengan baik, serasi dan harmonis. Sehingga apa yang menjadi tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai.

Daftar Pustaka

http://education-indonesia.blogspot.com/2007/05/kurikulum-beridentitas-kerakyatan.htm

http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/

http://re-searchengines.com/0607agung.html

http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/20/opi03.htm

Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik,, Implementasi dan Inovasi, Bandung: Remaja Rosdakaraya, 2004.

Nasution, S., Azas-Azas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Rahmadhi, Slamet, Masalah Pendidikan di Indonesia, Jakarta: CV Miswar, 1989.

Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2004.

Suparman, M. Atwi, Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka, 2001.

Widiastono, Tonny D., Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.

Yulaelawati, Ella, Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar Raya, 2004.

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000.



[1] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), h. 12.

[3] M. Atwi Suparman, Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum (Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka, 2001), h. 2.

[4] Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi (Bandung: Pakar Raya, 2004), h. 26.

[5] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000), h. 129.

[6] S. Nasution, Azas-Azas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 7.

[7] Tonny D. Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), h. 303.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid

[14] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik,, Implementasi dan Inovasi (Bandung: Remaja Rosdakaraya, 2004), h. 39.

[15] Ibid. 42.

[16] Ibid. 56-57.

[18] Slamet Rahmadhi, Masalah Pendidikan di Indonesia (Jakarta: CV Miswar, 1989), h. 80.

[19] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum........ h. 256.